Jumat, 12 Desember 2008

Potret Kemitraan Agribisnis:
(Model Pengembangan Perkebunan Berbasis Inti Plasma)

Ir. Azhar A.Gani, M.Sc.
(Harian Aceh Independen, 5 Mei 2008)

Berita yang dilansir beberapa harian lokal yang beredar di Nanggroe Aceh Darussalam medio April 2008 dengan tajuk Pemerintah Aceh Bentuk BPPA (Badan Pengembangan Perkebunan Aceh) telah membuat saya penasaran sehingga terinspirasi untuk membuka kembali beberapa dokumen terkait dengan model pengembangan perkebunan berbasis kepada pola inti plasma. Matlamat tulisan ini adalah ingin mendeskripsikan bagaimana program kemitraan inti plasma pernah diimplementasikan di Indonesia, khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam beberapa waktu lampau. Selain itu, tidak berlebihan kiranya tulisan ini dapat dijadikan sebagai rujukan tambahan bagi BPPA sempena pelaksanakan program yang sangat mulia yaitu mengangkat harkat dan martabat petani kelapa sawit yang akan melibatkan masyarakat korban konflik dan anak yatim piatu dimana pada tahap awal melibatkan 45.000 keluarga yang bermukim di seluruh kabupaten/kota sebagai pelaku agribisnis dengan peruntukan luas lahan masing-masing 4 hektar.
Konsep Kemitraan
Konsep kemitraan agribisnis (Contract Farming) merupakan salah satu pola pemberdayaan yang cukup strategis dalam pelaksanaan pembangunan pertanian. Secara konseptual, kemitraan bermakna kerjasama antara usaha kecil dengan usaha besar yang berlandaskan pada prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Terkait dengan hal tersebut, dalam pemilihan pola kemitraan harus memperhatikan unsur saling memerlukan dan saling menguntungkan. Perlu dipahami bahwa tidak selamanya, konsep kemitraan mengandung unsur yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Lebih lanjut, dalam tataran konsep bentuk kemitraan dapat digolongkan kepada dua, yaitu kemitraan dispersal dan kemitraan sinergis (Sumardjo, 2004). Konsep yang pertama, mengandung makna sebagai bentuk kerjasama antar pelaku yang satu sama lain tidak memiliki ikatan formal yang kuat. Pada pola ini, pihak pengusaha lebih kuat dibandingkan dengan produsen. Kondisi seperti ini menimbulkan kesenjangan dalam hal informasi tentang mutu, harga, teknologi serta akses permodalan. Sementara konsep sinergis berbasis pada kesadaran saling membutuhkan dan saling mendukung pada masing-masing pihak yang bermitra. Contoh kemitraan sistem ini adalah kemitraan petani kelapa sawit dengan perusahaan perkebunan.
Selayang Pandang Perkebunan Inti Rakyat
Kemitraan inti plasma telah lama dipraktekkan pada pengembangan perkebunan termasuk kelapa sawit. Sejarah mencatat, praktek kemitraan berbasis inti plasma yang cukup populer yaitu Pola Perkebunan Inti Rakyat (Nucleus Estate and Smallhorders). Di Indonesia, pola inti plasma atau PIR pertama sekali dipraktekkan di dua lokasi yaitu Alue Ie Mirah (Aceh) dan Tabenan (Sumatera Selatan) pada tahun 1977 dimana yang bertindak selaku pihak inti adalah PTP/PNP V dan petani plasma berasal dari peserta transmigrasi dan petani lokal dengan sumber pendanaan berasal dari Wolrd Bank. Proyek tersebut merupakan pola pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai Inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan. Perusahaan yang bertindak sebagai inti memiliki permodalan yang kuat, teknologi yang tinggi serta manajemen kebun yang profesional sebagai bekal untuk mentransfer budaya inti kepada petani plasma yang tidak berbudaya modern serta minim modal dan teknologi.
Dalam pelaksanaan pola inti plasma tersebut melibatkan tiga pihak, diluar petani plasma. Pertama adalah pelaksana dalam hal ini adalah perusahaan milik negara atau swasta atau koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Kedua adalah pembina perkebunan yaitu Dirjen Perkebunan untuk mengatur kebijaksanaan teknis operasional pelaksanaan program inti plasma. Ketiga adalah pembina petani plasma yaitu departemen transmigrasi (hal ini karena program PIR dikaitkan dengan program transmigrasi dimana petani plasma didatangkan dari luar provinsi). Departemen tersebut bertanggungjawab mulai dari membangun pemukiman, membina usahatani pekarangan sampai pembinaan masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai melalui program inti plasma yaitu alih teknologi dari inti ke plasma. Hal tersebut cukup beralasan mengingat rendahnya produktivitas hasil produksi dan manajemen pengelolaan kebun. Pada gilirannya, diharapkan petani plasma dapat mengadopsi model pengelolaan perkebunan berbasis padat modal dan padat teknologi yang akan bermuara pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani serta pertumbuhan ekonomi wilayah akan berkembang. Implementasi Inti-Plasma
Untuk mewujudkan kemitraan antara pihak inti dan plasma, melalui 5 tahap yaitu tahap pertama, pembangunan kebun inti beserta fasilitas kantor oleh pihak perusahaan inti. Khusus di Aceh, PT. Perkebunan Nusantara I Langsa mempunyai kebun inti untuk komoditas karet dan kelapa sawit. Tahap kedua, membangun kebun plasma. Dalam pembangunan kebun plasma, pihak perusahaan perkebunan mengunakan petani plasma sebagai tenaga kerja dimana pada tahap ini proses alih teknologi mulai diperkenalkan. Tahap ketiga, membangun lahan pangan dimana lahan pangan ini diandalkan sebagai sumber pendapatan sampingan bagi petani plasma sebelum tanaman utama menghasilkan. Hal ini dilakukan mengingat tanaman perkebunan mulai menghasilkan tiga tahun setelah tanam. Jadi pada tahap menunggu tanaman utama menghasilkan petani memperoleh pendapatan dari tanaman pangan seperti padi dan kacang-kacangan. Tahap keempat, membangun perumahan dan fasilitas umum. Penyediaan fasilitas tersebut untuk mewujudkan sebuah kawasan dimana petani plasma dapat hidup dengan layak sebagaimana dialami juga oleh masyakarakat di perkotaan. Dengan kata lain, pada kawasan pengembangan tersebut dapat menjadi sebuah kawasan agropolitan (kota pertanian) dengan segala fasilitas yang dimiliki sebagaimana layaknya fasilitas yang ada di perkotaan. Tahap kelima, pembinaan yaitu kegiatan yang dilakukan semenjak pembangunan kebun plasma sampai pada tahap kebun di konversikan kepada petani plasma. Hal ini dilakukan setelah seluruh komponen kredit yang menjadi kewajiban petani plasma dilunasi. Bentuk konkrit dari keberhasilan pembinaan yang dilakukan adalah petani plasma telah dapat mengadopsi budaya kebun dengan segala bentuk manajemen dari perusahaan inti kepada petani plasma. Keuntungan kemitraan inti plasma yang terpenting adalah adanya kesinambungan usaha baik bagi pihak inti maupun plasma. Pada satu sisi, petani plasma terus dapat memasok hasil produksi kepada inti yang tentunya memiliki pabrik pengolahan dengan teknologi canggih dan investasi yang besar yang sukar dilaksanakan oleh petani plasma. Pads sisi lain, pihak perusahaan dengan adanya kesinambungan produksi akan memberi jaminan sumber bahan baku untuk menghasilkan berbagai macam produk olahan dari komoditi kelapa sawit dalam rangka memenuhi permintaan yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu mengikuti pergerakan permintaan kelapa sawit dunia. Terkait dengan rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, kirannya tidak akan berbenturan dengan kebijakan pelestarian lingkungan melalui Moratorium Logging yang sedang gencar dilakukan oleh Pemerintah Aceh. Semoga perekonomian masyakarakat tani dapat meningkat dan lingkungan hidup tetap lestari di bumi Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar